Fenomena Haus Eksis di Era Digital

By Bella Sukardi - March 15, 2018


https://www.pexels.com

Kenapa sosial media semakin merajalela?

Tidak lain adalah, tujuan penciptaan sosial media oleh para penggagasnya sepertinya sangat brilian, menargetkan kebutuhan dasar manusia untuk diakui, diterima, dan dianggap populer. Tanpa disadari membuat penggunanya jadi ketergantungan, dan lebih parah lagi, kesehatan mentalnya perlu dipertanyakan. Mengapa demikian?

Sosial media menyediakan tombol-tombol yang mendukung misinya. Ada tombol love, likes, comments dan tombol lainnya yang membuat kebutuhan manusia untuk eksis terpenuhi. Dunia sosial media membuat penggunanya lupa mengendalikan diri dan membagikan semua yang dirasakan  dan dilakukan melalui melalui thread di Twitter, Facebook status, Snapchat video, Instagram stories dan lainnya, tanpa berpikir dua kali dan menyadari risiko bahwa apa yang dibagikan dengan mudah bisa dilihat orang lain dan akan melekat terus-menerus.

Seringkali yang dibagikan di sosial media bukanlah hal positif, seperti umpatan, konflik dengan orang lain, kegalauan, kemarahan, kesedihan dan lebih parahnya lagi, ujaran kebencian. Anehnya, masih ada saja orang-orang yang memberikan likes, comments dan bahkan membagikan ulang di linimasa sosial medianya. Hal tersebutlah yang membuat si pengguna ini merasa dihargai, merasa memiliki panggung, merasa populer, dan merasa diakui. Sehingga muncul perasaan ingin terus menerus posting dan timbul perasaan semakin haus lagi akan eksistensi yang salah kaprah.

Selain itu, mengapa media sosial sangat digandrungi dan menjadi wadah pemuas kebutuhan dasar untuk di akui, diterima dan dianggap populer? Karena platform media sosial memfasilitasi seseorang untuk dengan mudah menunjukkan gambaran dirinya sesuai yang ia kehendaki kepada dunia luar, seseorang bisa memilih sisi mana yang mau di tunjukkan mana yang tidak, atau lebih akrab disebut pecitraan, dengan tujuan kepopuleran atau dengan tujuan lain. Berbeda dengan komunikasi tatap langsung yang membuat seseorang cenderung lebih menampakan 'dirinya' dengan jujur, meski besar kemungkinan pencitraan akan terjadi. 

Untuk itu, sosial media menjadi wadah yang sangat brilian bagi individu-individu yang haus eksistensi dan ingin memuaskan hasrat untuk diakui bahkan hanya dengan sekali klik bisa mencakup area yang luas. Selama media sosial masih ada, fenomena haus eksistensi virtual tentu masih akan terus melekat. Bagi golongan ini, banyaknya likes atau comments pada aktivitas di media sosialnya merupakan sebuah tolak ukur dirinya dianggap populer atau tidak, banyaknya followers juga dianggap menjadi sebuah tolak ukur seorang individu disukai banyak orang atau tidak.

Bisa jadi individu yang haus eksistensi virtual ini tidak memiliki tempat lain untuk menunjukkan dirinya, tidak memiliki kesempatan untuk mendapatkan pengakuan di tempat lain, atau tidak memiliki tempat nyaman untuk berbagi. Alangkah lebih baiknya, fenomena haus eksistensi ini disikapi dengan bijak, caranya adalah jangan menilai pribadi orang lain hanya dari akun sosial medianya saja. Dan, berikan ruang kepada orang disekitar kita agar mereka merasa diakui, merasa dianggap dan merasa bahwa mereka ada, dan mereka bisa mengerti betul soal eksistensi yang sebenarnya.

Soal bersosial media, lagi-lagi saya tekankan, kudu bijak dan jeli. Mulailah bijak dari diri sendiri, berpikirlah dua kali. Jadilah pengguna media sosial yang cerdas dan beretika.

Salam berbagi.

  • Share:

You Might Also Like

0 comments