'Broken' Home

By Bella Sukardi - March 16, 2018


https://www.pexels.com

Pada hakikatnya, terlahir di dunia dan hidup dalam keluarga yang 'broken' bukanlah sesuatu yang bisa dipilih. Tumbuh dan berkembang di lingkungan yang tidak harmonis, akrab dengan masalah dan pertengkaran, iri dengan kehidupan hangat orang lain, dan canggung dalam mengekspresikan kasih sayang karena tidak adanya teladan, sudah menjadi hal yang begitu akrab dalam keseharian. 

Perlu diluruskan, bahwasannya yang dimaksud keluarga yang 'broken' bukanlah melulu keluarga yang mengalami perceraian (divorce), tetapi juga keluarga yang tidak 'utuh'. Tidak utuh disini adalah keluarga yang tidak memiliki kemampuan untuk pemenuhan kebutuhan fisik, ekonomi, psikologis dan juga sosial.

Tumbuh dan berkembang dalam keluarga yang tidak 'utuh' seringkali memaksa seseorang untuk dewasa sebelum waktunya. Dipaksa melihat dan terlibat pada suatu hal diluar batas kemampuan psikologis umurnya. Oleh karena itu, seringkali seseorang yang tumbuh dalam keluarga 'broken' ini mengalami perubahan, gangguan dan masalah terkait perilaku. Bisa jadi, seseorang ini menjadi pribadi yang tertutup dan tidak mudah percaya pada orang lain, emosi meledak-ledak dan tidak stabil, atau lebih parahnya lagi melakukan perilaku yang menyimpang seperti terlibat tindakan kekerasan, narkoba, atau perilaku tidak terpuji lainnya.

Perilaku menyimpang inilah yang seringkali menjadi stigma mutlak bagi banyak orang yang menganggap bahwa semua individu yang berasal dari keluarga 'broken' selalu buruk dan menyimpang. Hal tersebut tidak sepenuhnya salah, karena seseorang yang berasal dari keluarga yang 'broken', banyak sekali mengalami gejolak emosi yang diakibatkan dari peran fungsional keluarga yang tidak optimal, atau bahkan tidak berfungsi. Tapi juga tidak sepenuhnya benar, tidak selamanya seseorang yang berasal dari keluarga yang tidak utuh selalu turut menjadi 'broken' perilaku dan mentalnya. 

Hidup dalam lingkungan yang tidak harmonis, ekonomi tidak stabil, pertengkaran dan tidak adanya kasih sayang, tekanan demi tekanan, perasaaan kecewa, perasaan iri, dan luka yang terus menerus mau tidak mau menggerus mental individu yang hidup di dalamnya. Hanya ada dua kemungkinan, individu tersebut menjadi pribadi yang bijak, dewasa, dan menganggapnya menjadi suatu hal yang memicunya melompat lebih tinggi, atau malah menjadikannya pribadi yang gagal dan merugikan orang lain.

Analoginya begini, individu adalah sebuah bongkahan batu permata yang belum diketahui sifat dan karakternya, ditempa asal-asalan, di kikis, di tekan sedemikian rupa dengan kekuatan yang melebihi kapasitas ketahanannya, bisa jadi batu tersebut akan menjadi suatu produk dengan bentuk yang indah, dan bernilai tinggi, atau malah menjadi hancur lebur tanpa arti.

Pada dasarnya, keluarga yang tidak 'utuh' berat untuk siapa saja yang menjalaninya. Dan bahkan tidak sedikit orang menjadi depresi, dan ingin mengakhiri hidup. Karena hidup dalam kecemasan, kekecewaan, ketidakpuasan dan hidup dalam tekanan yang bertubi-tubi sangat mungkin membuat seseorang menjadi rentan terserang depresi dan gangguan mental yang lain. Atau, karena tidak adanya ruang untuk mengungkapkan kemarahan, merasa sendirian, merasa tidak didengar dan merasa tidak bahagia, membuat seseorang mencari pelampiasan, baik ke arah positif atau malah negatif. Bukanlah tidak adil menilai seorang individu yang berasal dari keluarga 'broken' buruk? Bukankah lebih bermanfaat memberikan perhatian, arahan, dan kasih sayang ketimbang sibuk mengkotak-kotakkan dari lingkungan keluarga seperti apa manusia ini berasal?

Kembali lagi, tidak ada seorangpun yang bermimpi dan menginginkan hidup dalam keluarga yang tidak 'utuh'.

Terkadang kita juga lupa, tidak ada sesuatu yang sempurna, kita terlalu sibuk pada kekurangan yang kita miliki, padahal bisa jadi kita iri melihat keluarga orang lain yang terlihat begitu hangat dan harmonis, namun kita tidak tahu apa yang ada di dalamnya. Memang, sudah menjadi dasar sifat manusia, selalu melihat 'rumput tetangga lebih hijau' dan membanding-bandingkan dengan ketidakberuntungan diri sendiri. Tanpa disadari, hal tersebut hanya membuatnya menjadi lebih terpuruk dan terjebak dalam lingkaran ketidakpuasan dan jalan ditempat tidak membuat kemajuan.

Jadikanlah sebuah pengalaman pahit menjadi titik untuk bangkit, jadikan rasa kecewa sebagai pembuka sudut pandang kita kepada semesta, dan jadikan rasa sakit luka yang bertubi-tubi menjadi penguat kita untuk terus berdiri lagi. 

Satu hal yang perlu diingat adalah :

"Kita tidak bisa memilih terlahir, tumbuh dan berkembang dikeluarga yang mana, dan mungkin memang keluarga kita tidak lagi 'utuh' seperti yang lainnya, tapi kita masih bisa memilih untuk menjadi pribadi yang bijak dan menjadi manusia seutuhnya. "
Salam berbagi.



  • Share:

You Might Also Like

0 comments