Sebelumnya, saya adalah seorang fresh graduate lulusan dari perguruan
tinggi yang katanya ‘ternama’ di Yogyakarta. Melanjutkan artikel yang saya
tulis sebelumnya – soal ‘idealisme’ fresh
graduate, saya dulu adalah salah satu pengikutnya. Merasa diri cukup cakap
dan memiliki kemampuan lebih dibanding yang lain, hingga pada suatu hari
tepatnya di hari ceremony kelulusan
saya, bertempat di Grha Sabha Pramana, untuk pertama kalinya saya merenung dan
menyadari bahwa saya hanyalah satu dari ribuan sarjana yang diwisuda pada
periode ini.
Melihat lebih jauh lagi, dalam
satu tahun di UGM ada empat kali periode wisuda, dengan jumlah wisudawan setiap
periode sekitar 1500-1800 mahasiswa. Bisa dihitung dalam satu tahun apabila
jumlah setiap periodenya disamakan menjadi 1500 orang, UGM mewisuda sekitar 6.000 wisudawan. Belum
lagi, saat ini UGM hanyalah satu dari 4.504 perguruan tinggi yang terdaftar di
Indonesia, bisa diperkirakan kan banyaknya lulusan universitas setiap tahunnya?
Saya adalah salah satu dari produk
cetakan universitas yang mungkin bisa dibilang rata-rata, tanpa prestasi
cemerlang, tanpa indeks prestasi komulatif yang tinggi, dan tanpa kemampuan
spesial yang menggetarkan, dan hanya berbekal dua lembar surat yang berisi
keterangan dan sederet alfabet yang disebut transkrip ‘teori’. Lalu, saya
bertanya dengan diri saya sendiri, bagaimana saya bisa bersaing dengan yang
lain? Tentu tidak mungkin 'hanya' berbekal optimisme dan faktor keberuntungan tanpa dilengkapi dengan 'kualitas diri'. Apa itu?
Ceritanya, saya seorang sarjana pertanian,
jurusan budidaya pertanian, dan prodi pemuliaan tanaman. Pernah saya berkunjung
disebuah kawasan pertanian, Magelang. Saat itu, seringkali saya menjadi
ciut ketika ditanya oleh seorang petani tua soal permasalahan lahannya. Seringkali,
saya kesulitan menjelaskan dan memberikan solusi sederhana pemasalahan yang petani
ajukan.
“Katanya sarjana, ditanya gitu aja kok nggak bisa jawab..” Mungkin itu yang ada dibenak mereka, atau mungkin saja hanya ada dipikiran saya.
Seringkali saya gemas, ingin saya jelaskan kalau disiplin ilmu ini sangat
luas, dibagi-bagi dalam sub ilmu, dan ada spesialisasi atau lebih sering
dikenal dengan program studi. Tapi rasanya tidak mungkin menjelaskan hal
demikian, jangankan kepada orang awam, kepada rekan akademisi yang tidak
menggeluti bidang ini saja belum tentu bisa mengerti.
Sederhananya begini, saya lebih dalam belajar teori soal persilangan tanaman sampai ke level gen dalam program studi saya, kemudian saya ditanya soal jenis virus yang menyerang sebuah tanaman yang hanya bisa saya lihat gejalanya sekilas saja. Mungkin saja ketika saya dulu mengambil program studi Hama dan Penyakit Tanaman, saya akan dengan mudah menjawab masalah yang diajukan tadi. Memang, materi dasar wajib diketahui oleh mahasiswa, namun itu hanya dasar sekali dan cenderung kulit saja. Alhasil ketika ditanya pertanyaan demikian, saya memanfaatkan teknologi bernama Mbah Google, sembari mencari literatur yang bisa bisa dipertanggung jawabkan. "Sarjana kok gogling,.."ingin saya memaki diri sendiri.
Ternyata selama ini saya hanya kenyang teori, teori yang seringkali tidak aplicable. Saya sibuk mengkotak-kotakan ilmu yang saya pelajari, padahal ketika di dunia sebenarnya orang tidak peduli dari mana asal prodi, pertanian entah apa prodinya ya tetap pertanian.
Sederhananya begini, saya lebih dalam belajar teori soal persilangan tanaman sampai ke level gen dalam program studi saya, kemudian saya ditanya soal jenis virus yang menyerang sebuah tanaman yang hanya bisa saya lihat gejalanya sekilas saja. Mungkin saja ketika saya dulu mengambil program studi Hama dan Penyakit Tanaman, saya akan dengan mudah menjawab masalah yang diajukan tadi. Memang, materi dasar wajib diketahui oleh mahasiswa, namun itu hanya dasar sekali dan cenderung kulit saja. Alhasil ketika ditanya pertanyaan demikian, saya memanfaatkan teknologi bernama Mbah Google, sembari mencari literatur yang bisa bisa dipertanggung jawabkan. "Sarjana kok gogling,.."ingin saya memaki diri sendiri.
Ternyata selama ini saya hanya kenyang teori, teori yang seringkali tidak aplicable. Saya sibuk mengkotak-kotakan ilmu yang saya pelajari, padahal ketika di dunia sebenarnya orang tidak peduli dari mana asal prodi, pertanian entah apa prodinya ya tetap pertanian.
Lagi-lagi saya lho, yang sudah sarjana, pengetahuan saya
ternyata tidaklah seberapa, bidang ilmu yang 4 tahun saya geluti, dengan banyak
sekali teori, ternyata tidak cukup mumpuni untuk memberikan solusi. Justru
bapak tua yang bisa jadi tidak pernah mendapatkan pendidikan teori soal
pertanian di perguruan tinggi, ilmunya jauh lebih banyak. Solusi yang diberikan lebih bisa dan lebih mudah di
aplikasikan. Karena baliau-baliau ini sudah langsung terjun dan telah melalui banyak asam garam.
Malu ? Tentu saja. Tapi bukan itu
yang ingin saya tekankan. Ada satu nilai dari kejadian tersebut yang bisa saya
ambil. Sarjana kenyang teori belum cukup untuk dapat bersaing di kerasnya
dunia kerja, ada satu poin yang tak kalah esensial, yaitu ‘pengalaman’.
Salam berbagi.