Review Film : Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak

By Bella Sukardi - December 26, 2017

marlina---tiff---1


Marlina, salah satu film karya anak bangsa pertama yang berhasil mencuri perhatian saya. Sebelumnya bisa dihitung jari selama 24 tahun ini berapa film Indonesia yang saya tonton di bioskop, jarang banget. Bukan soal nasionalisme, bukan juga soal tidak cinta kepada karya bangsa sendiri, bukan, ini murni soal selera.

Film Marlina hasil garapan sutradara Mouly Surya ini udah bikin saya penasaran bahkan sebelum tayang di bioskop. Beberapa penghargaan berhasil disabet oleh film yang mengambil latar di Sumba, Nusa Tenggara Timur ini. Salah satunya, pemeran utama Marlina yaitu Marsha Timothy berhasil menjadi aktris terbaik mengalahkan Nicole Kidman di Sitges International Fantastic Film Festival, Spanyol. Btw, saya nggak ngerti-ngerti amat soal film, tulisan ini murni pendapat saya sebagai orang awam.

Kisah berawal dari segerombolan perampok yang datang kerumah seorang perempuan, bernama Marlina. Kondisi Marlina saat itu bisa dibilang vurnerable karena sudah tidak memiliki sosok pelindung, dalam hal ini suami dan ditambah tanpa anak. Ada hal yang bisa dilakukan sebenarnya ketika rumah kita didatangi perampok, pasrah, melawan, atau minta tolong. Opsi ketiga digambarkan tidak mungkin dilakukan karena kondisi rumah Marlina yang berada ditengah-tengah entah bagian mana Sumba yang jauh dari rumah penduduk lain, dan minta tolong tentu bukan pilihan yang bijak.
Awalnya Marlina seperti menunjukkan sifat pasrah,dan tenang menghadapi tujuh orang perampok yang ingin mengambil uang, ternak, memakan sup ayam buatannya, serta kalau ada waktu bergiliran menidurinya didepan mumi suaminya. Tapi diam-diam Marlina memikirkan cara bagaimana bisa melawan, ya melawan. Marlina memilih untuk melawan dan mengayunkan parang membela martabat dan harga dirinya.

fgdgfd.png

Sekilas, setting film Marlina ini bikin saya teringat dengan film-film koboi western tapi film satu ini dikemas ala-ala ketimuran. Bedanya, jagoan utama di film ini bukanlah laki-laki dengan tali laso dan senapan, tapi seorang perempuan yang berdiri membela harga diri dan memilih untuk tidak pasrah. Film ini juga menyajikan adegan-adegan yang jarang banget saya temukan di film-film Indonesia, terutama adegan pemenggalan kepala yang ditampilkan tanpa tedeng aling-aling, adegan Marlina menenteng-nenteng kepala Markus, dan adegan dua orang wanita yang sedang buang air dengan latar belakang wide shoot keindahan bumi Sumba di sajikan begitu sangat apik.

Film Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak 2017.jpg

Film ini bisa dibilang tidak lebay, tidak terlalu banyak dialog ataupun musik yang berlebihan. Semua seperti di takar secara pas tanpa mengurangi esensi, ditambah dengan karakter-karakter tokoh yang kuat. Tak hanya tokoh Marlina yang diperankan apik oleh Marsha Timothy, tokoh Novi yang diperankan oleh Dea Panendra juga tak kalah mencuri perhatian. Novi, sosok perempuan hamil 10 bulan yang mematahkan bayangan di pikiran saya bahwa perempuan hamil itu sangat lemah, manja dan cenderung bergantung pada suami terbabat habis sudah. Novi diharuskan menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa suami karena suaminya justru menampar dan menuduhnya selingkuh serta menyalahkannya atas bayi yang tidak kunjung lahir.

750xauto-10-foto-di-balik-layar-syuting-marlina-si-pembunuh-dalam-empat-babak-170615d.jpg

Film ini menyajikan sebuah feminisme dengan sangat kental, melawan struktur patriarki yang terbentuk di budaya masyarakat. Film ini tidak menggambarkan suatu perangkap yang terjebak menjadi korban, atau menyajikan sosok wanita lemah yang teraniaya. Film Marlina lagi-lagi menyinggung soal  gender, dimana laki-laki supir truk sangat ketakutan ditodong golok oleh Marlina, sedangkan sosok-sosok perempuan disitu terlihat tidak terlalu cemas.

Film ini tidak seseram yang digambarkan ketika kita melihat poster Marlina menenteng kepala Markus kemana-mana, justru film ini menyajikan sebuah komedi yang dikemas dengan sangat elegan. Saya kepengin banget ngakak ketika ada seorang wanita tua alih-alih takut eh malah menanyakan kepeduliannya kepada Marlina “Tidak capek tanganmu, Nona?” saat sepanjang perjalanan Marlina menodongkan goloknya ke supir truk yang ia bajak untuk mengantarkannya ke kantor polisi.

Marlina-Marsha-Timothy-naik-kuda-e1481040845701.jpg
Film ini juga berisi kritik sosial soal birokrasi yang berbelit dan tak kunjung usai, dimana Marlina ingin mendapatkan keadilan dengan datang ke kantor polisi, mengadukan bahwa dirinya telah dirampok dan diperkosa. Tapi ternyata jawaban dari instansi yang ia gadang-gadang bisa membantu kesulitannya tidak sesuai dengan ekspektasinya, justru Marlina cenderung disalahkan dengan pertanyaan “kok nggak ngelawan?”. Dialog singkat dan adegan main ping-pong oknum cukup membuat penonton menangkap apa pesan yang ingin disampaikan oleh cerita ini.

Desain produksi yang sangat keren, menggunakan cahaya-cahaya alami yang sangat menawan seperti tungku api, lampu petromak, cahaya matahari, mampu menghasilkan gambar-gambar yang kuat dan mendukung emosi cerita. Saya bangga Indonesia memiliki film apik yang kontennya sangat menarik. Marlina membuka mata perempuan-perempuan yang hidup di antara berusaha melawan atau sekedar ngikut sistem, dan bertahan sampai kapan mereka akan mampu. Tetapi ada hal yang lebih daripada itu, bahwa pria maupun wanita juga bisa mengambil aksi tanpa perlu playing the victim dan menyalahkan siapa-siapa. Terima kasih Mouly Surya dan team produksi Film Marlina, kalian patut berbangga atas karya yang luar biasa!

  • Share:

You Might Also Like

0 comments