Balada Sarjana

By Bella Sukardi - December 29, 2017


Sebelumnya, saya adalah seorang fresh graduate lulusan dari perguruan tinggi yang katanya ‘ternama’ di Yogyakarta. Melanjutkan artikel yang saya tulis sebelumnya – soal ‘idealisme’ fresh graduate, saya dulu adalah salah satu pengikutnya. Merasa diri cukup cakap dan memiliki kemampuan lebih dibanding yang lain, hingga pada suatu hari tepatnya di hari ceremony kelulusan saya, bertempat di Grha Sabha Pramana, untuk pertama kalinya saya merenung dan menyadari bahwa saya hanyalah satu dari ribuan sarjana yang diwisuda pada periode ini.

Melihat lebih jauh lagi, dalam satu tahun di UGM ada empat kali periode wisuda, dengan jumlah wisudawan setiap periode sekitar 1500-1800 mahasiswa. Bisa dihitung dalam satu tahun apabila jumlah setiap periodenya disamakan menjadi 1500 orang, UGM mewisuda sekitar 6.000 wisudawan. Belum lagi, saat ini UGM hanyalah satu dari 4.504 perguruan tinggi yang terdaftar di Indonesia, bisa diperkirakan kan banyaknya lulusan universitas setiap tahunnya?

Saya adalah salah satu dari produk cetakan universitas yang mungkin bisa dibilang rata-rata, tanpa prestasi cemerlang, tanpa indeks prestasi komulatif yang tinggi, dan tanpa kemampuan spesial yang menggetarkan, dan hanya berbekal dua lembar surat yang berisi keterangan dan sederet alfabet yang disebut transkrip ‘teori’. Lalu, saya bertanya dengan diri saya sendiri, bagaimana saya bisa bersaing dengan yang lain? Tentu tidak mungkin 'hanya' berbekal optimisme dan faktor keberuntungan tanpa dilengkapi dengan 'kualitas diri'. Apa itu?  

Ceritanya, saya seorang sarjana pertanian, jurusan budidaya pertanian, dan prodi pemuliaan tanaman. Pernah saya berkunjung disebuah kawasan pertanian, Magelang. Saat itu, seringkali saya menjadi ciut ketika ditanya oleh seorang petani tua soal permasalahan lahannya. Seringkali, saya kesulitan menjelaskan dan memberikan solusi sederhana pemasalahan yang petani ajukan.

“Katanya sarjana, ditanya gitu aja kok nggak bisa jawab..” Mungkin itu yang ada dibenak mereka, atau mungkin saja hanya ada dipikiran saya.

Seringkali saya gemas, ingin saya jelaskan kalau disiplin ilmu ini sangat luas, dibagi-bagi dalam sub ilmu, dan ada spesialisasi atau lebih sering dikenal dengan program studi. Tapi rasanya tidak mungkin menjelaskan hal demikian, jangankan kepada orang awam, kepada rekan akademisi yang tidak menggeluti bidang ini saja belum tentu bisa mengerti.

Sederhananya begini, saya lebih dalam belajar teori soal persilangan tanaman sampai ke level gen dalam program studi saya, kemudian saya ditanya soal jenis virus yang menyerang sebuah tanaman yang hanya bisa saya lihat gejalanya sekilas saja. Mungkin saja ketika saya dulu mengambil program studi Hama dan Penyakit Tanaman, saya akan dengan mudah menjawab masalah yang diajukan tadi. Memang, materi dasar wajib diketahui oleh mahasiswa, namun itu hanya dasar sekali dan cenderung kulit saja. Alhasil ketika ditanya pertanyaan demikian, saya memanfaatkan teknologi bernama Mbah Google, sembari mencari literatur yang bisa bisa dipertanggung jawabkan. "Sarjana kok gogling,.."ingin saya memaki diri sendiri. 

Ternyata selama ini saya hanya kenyang teori, teori yang seringkali tidak aplicable. Saya sibuk mengkotak-kotakan ilmu yang saya pelajari, padahal ketika di dunia sebenarnya orang tidak peduli dari mana asal prodi, pertanian entah apa prodinya ya tetap pertanian.

Lagi-lagi saya lho, yang sudah sarjana, pengetahuan saya ternyata tidaklah seberapa, bidang ilmu yang 4 tahun saya geluti, dengan banyak sekali teori, ternyata tidak cukup mumpuni untuk memberikan solusi. Justru bapak tua yang bisa jadi tidak pernah mendapatkan pendidikan teori soal pertanian di perguruan tinggi, ilmunya jauh lebih banyak. Solusi yang diberikan lebih bisa dan lebih mudah di aplikasikan. Karena baliau-baliau ini sudah langsung terjun dan telah melalui banyak asam garam. 

Malu ? Tentu saja. Tapi bukan itu yang ingin saya tekankan. Ada satu nilai dari kejadian tersebut yang bisa saya ambil. Sarjana kenyang teori belum cukup untuk dapat bersaing di kerasnya dunia kerja, ada satu poin yang tak kalah esensial, yaitu ‘pengalaman’.

Salam berbagi.


  • Share:

You Might Also Like

0 comments