Aku Jatuh Cinta Lagi

By Bella Sukardi - January 17, 2018

Rupanya, aku jatuh cinta lagi. Jatuh pada sebuah ruang keimanan, cinta pada sebuah ketaatan.
Ternyata, aku jatuh cinta lagi. Jatuh pada sebuah dekapan Tuhan, cinta pada ketenteraman.

Sebelumnya, aku sering berandai, apakah kalau aku dilahirkan bukan dari rahim seorang wanita muslim, aku akan tetap berislam? 

Banyak sekali fenomena seorang individu muslim karena sebab bawaan, orang tua muslim sudah pasti anaknya akan otomatis muslim. Mereka dididik islami, diperintahkan menjalan syariat islam, tapi apakah mereka benar-benar berislam?

Masih lekat di ingatan, setiap pagi buta di jam-jam kantuk yang begitu besar, ibuku berteriak membangunkanku sholat shubuh. Hampir setiap ada adzan, dalam lima kali sehari, entah apapun aktivitasku ibuku selalu dengan nada yang hampir sama berkata "sholat dulu!". Atau ketika matahari akan terbenam, ayahku selalu mematikan televisi tak peduli apapun acara yang sedang ditayangkan sembari berkata "Udah mau magrib, siap-siap ke langgar!". Langgar, sebutan untuk sebuah surau kecil didepan rumahku. Setelah sholat magrib, ayahku akan mengajariku membaca Al'Qur'an, dimulai dari Iqra, kemudian dilanjutkan dengan membaca Al-Qur'an setiap malam. Masih lekat juga dibenakku, ketika kelas 3 sekolah dasar, aku menaiki kuda dan diarak keliling kampung karena aku telah khatam mengaji Al-Quran. 

Malas? Tentu. Dulu aku setengah hati melakukannya. Semua murni karena agar tidak 'dimarahi' atau sekedar agar ibuku tidak mengulang pertanyaan yang repetitif setiap saat, "udah sholat belum?". Kesal rasanya, ketika aku tengah asik membaca buku, atau menonton televisi acara favoritku, ibuku selalu meneriaku dan menyuruhku untuk sholat. Saat itu aku tidak paham, dan yang aku tahu adalah aku melakukannya karena memang harus dilakukan daripada aku harus mendengar celotehan panjang ibuku karena aku menunda-nunda sholatku. 

Hingga tiba akhirnya, aku merantau dan hidup jauh dari orang tua untuk melanjutkan studi. Lega rasanya, ketika semua bisa  aku lakukan serba 'dikit'. Sholat bisa telat-telat dikit, bangun pagi bisa agak siangan dikit, dan hari mingguku bisa bermalas-malasan dikit. Aku terlahir di keluarga pekerja keras dengan keadaan ekonomi yang tidak begitu baik. Itu sebabnya ibuku dan ayahku mengajari anak-anaknya untuk bekerja keras. Apakah ibuku berhenti sampai situ mengulang kalimat andalannya 'udah sholat belum?'. Tidak.

Rupanya, beliau sepertinya sakti, ajaibnya ketika anaknya ini ingin bangun siang karena semalaman begadang mengerjakan tugas, telepon segera berdering dan melontarkan kalimat ajaibnya 'udah sholat belum?'. Lagi. Aku selalu terperanjat dan menaik naikkan nada suaraku biar tidak ketahuan kalau aku belum bangun. Tak jarang ketika aku sedikit malas bangun, aku berbohong pada ibuku kalau aku sudah sholat. Jawaban andalan agar ibuku berhenti meneleponku dan aku bisa tidur sebentar lagi, baru sholat ketika bangun nanti. Tak jarang pula, subuhku ketika matahari sudah mulai menampakan diri dan hari sudah terang karena ulahku sendiri menunda-nunda sholatku. 

Tak sampai disitu, karena makin banyaknya kesibukan dan kegiatanku, atau karena mungkin ibuku telah menilai aku sudah mulai dewasa, beliau hanya sesekali menanyakan kalimat ajaibnya ketika menelepon menanyakan kabar. Selebihnya, aku sendiri yang menentukan. Awalnya ketika aku lupa untuk sholat, aku merasa ada suatu hal yang hilang. Namun seiring berjalannya waktu, ternyata aku makin pandai bersembunyi dibalik "Allah maha mengetahui, dan namanya lupa itu manusiawi, manusia tempatnya luput." Begitu seterusnya. Seakan-akan semua bisa dimaklumi dan sholat adalah sebuah paksaan. 

Hingga sampai di suatu titik, ketika aku telah lama melalang buana. Sibuk dengan diriku sendiri, melakukan semua hal yang aku inginkan, menuju ke impianku, jatuh bangun dalam hidup, melewati banyak hal yang terjal. Tak jarang, ketika berkumpul dengan teman, bercanda di keramaian, aku merasakan ada yang kurang dalam diriku. Aku tetap merasakan kesepian. 

Seringkali ada perasaan aneh menyusup dalam kalbuku, ada sedikit rasa kesepian, cemas dan kehilangan. Padahal ketika kupikir kembali, aku dikelilingi oleh banyak orang, hidupku bukan hidup antisosial yang tidak bergaul, mana mungkin aku bisa kesepian? Terlebih lagi aku punya segudang cara agar hari-hariku tidak monoton, aku punya banyak hobi dan kegiatan. Bagamana mungkin aku masih merasa kesepian?

Semakin lama, jiwaku seakan tidak tenteram dan aku sering mengkhawatirkan sesuatu yang berlebihan. Aku bahkan seperti lebih mencintai manusia, dan dunia. Begitu sibuk mengejar duniawi dan begitu keras berjuang untuk bisa dipandang dengan predikat baik didepan orang-orang. Bertahun-tahun aku seperti tersesat dan bimbang, terjebak dalam urusan dunia dan rutinitas.

Awalnya, aku berpikir mungkin akar dari kesepianku adalah karena aku bosan, sehingga aku harus mengejar dan melakukan sesuatu yang lain untuk mengatasinya, Semakin aku sampai di tujuanku, dan semakin banyak hal yang aku lakukan untuk membunuh kehampaan di jiwaku, justru membuat aku semakin merasa tersesat dan kesepian.  

Aku memutuskan untuk menarik diriku dari segala hal yang aku lakukan sebelumnya, aku menarik diri dari relationship, aku menarik diri dari lingkungan sosial ku, aku lebih banyak diam dan merenung dan terus merenung, berbekal pertanyaan "Apa yang salah?". Aku berpikir dan terus berpikir. Begitu lama aku merenung, begitu lama aku berpikir. Mungkin aku akan jadi orang yang antisosial sementara. Ah tidak apa-apa pikirku. Aku begitu sering menghabiskan waktuku untuk sendirian. Mencari sesuatu yang aku sendiri tidak tahu. Entah kenapa, dalam kesendirian aku menjadi suka sekali mendengarkan kajian, suka sekali mendengarkan tilawah, suka sekali mencari-cari tahu bagaimana menjadi muslimah yang baik. Entah kenapa, begitu banyak sekali hal di pikiranku yang mengantarkanku pada suatu muara, mungkin selama ini aku begitu acuh dengan Tuhanku. Aku islam, tapi hati dan jiwaku belum berislam. 

Sampai pada saatnya, perlahan aku mulai menemukan sebuah titik terang. Dalam kesendirian,  aku semakin menyadari, rupanya aku jatuh cinta lagi. Jatuh cinta kepada sebuah ketenteraman dalam sholatku, sebuah kenyamanan dan kehangatan dalam sujudku, yang selama ini belum aku rasakan. Aku semakin menyadari bahwa, kesepian dan kehampaan yang menyusup dalam kalbuku selama ini adalah karena Allah sedang memanggilku untuk kembali mendekat. Mendekat dengan 'wajah baru', mendekat dengan tanpa paksaan, mendekat dengan sebuah keutuhan.

Kini sholatku bukan hanya sekedar rutinitas belaka, atau tuntutan sosial dari luar diriku. Kini, setiap aku dengar adzan berkumandang, tanpa ada lagi ucapan ajaib ibuku 'sudah solat belum?' jiwa dan raga ku sudah melangkah dan bergegas. Apakah kamu pernah merasakan rindu dengan seseorang dan tiba-tiba ada kabar akan bertemu? Ya, sepeti itu yang aku rasakan ketika panggilan sholat terdengar di telingaku. Ingin buru-buru, ingin bergegas, dan ingin segera bertemu.


Kini aku ingin mencoba berislam, islam tanpa paksaan. Berislam dari hati.
Rupanya begini rasanya, aku jatuh cinta lagi. 





  • Share:

You Might Also Like

0 comments